KOLAKA UTARA, REPUBLIX.ID – Di malam menjelang ‘Idul Fitri, ketika kota Madinah dipenuhi cahaya suka cita, keluarga kecil Ali dan Fatimah justru sibuk memikul amanah yang lebih mulia. Tiga karung gandum dan dua karung kurma dibagi-bagikan kepada fakir miskin.
Ali memanggul gandum di pundaknya, sementara Fatimah menuntun Hasan dan Husain kecil, sebuah pemandangan yang memancarkan kasih sayang dan ketulusan tanpa pamrih.
Pagi hari Id pun tiba. Mereka sekeluarga kembali dari shalat dengan wajah cerah dan hati lapang. Namun di balik senyum itu, tersembunyi kisah yang menggugah batin seorang sahabat bernama Ibnu Rafi’i.
Ketika ia hendak mengucapkan selamat hari raya, ia justru tercengang melihat hidangan keluarga Rasulullah, gandum kering tanpa mentega, bahkan sebagian telah basi dan berbau asam.
Tak kuasa menahan haru, Ibnu Rafi’i berlari menghadap Rasulullah. Dadanya sesak oleh rasa iba melihat cucu-cucu Nabi menikmati Idul Fitri dengan makanan yang tak layak pun disebut hidangan.
Rasulullah segera menuju rumah Fatimah. Dari balik pintu, terdengar tawa bahagia keluarga itu, seolah tak ada sedikit pun kekurangan. Ketika pintu terbuka, air mata Nabi jatuh.
Beliau menyaksikan sendiri putri tercinta dan dua cucunya merayakan hari kemenangan dengan makanan yang bahkan tak dipedulikan orang lain.
“Ya Allah… saksikanlah,” bisik Rasulullah lirih.
“Di hari raya ini, keluargaku menahan lapar demi memberi makan kaum papa. Mereka lebih memilih menggembirakan para fakir, meski harus menelan gandum yang basi.”
Fatimah terkejut melihat ayahnya menangis. Rasulullah menghambur memeluk sang putri, berkata dengan suara penuh cinta, “Surga untukmu, Nak… surga untukmu.”
Ibnu Rafi’i yang menyaksikan peristiwa itu menyimpan kisah tersebut hingga Rasulullah wafat. Ia takut dianggap menyembunyikan hadits, maka ia menuturkannya agar umat memahami keteladanan keluarga suci ini keluarga yang menjadikan cinta kepada fakir miskin sebagai pakaian sehari-hari, bahkan di hari yang seharusnya menjadi hari bersuka cita.
Penulis : Mrh


Komentar